KUALITAS PRIBADI KONSELOR
A. Orientasi Konsep Bimbingan dan Konseling Masa Kini dan Akan Datang
Sampai
saat ini, secara umum pemahaman tentang konsep bimbingan dan konseling
yang dimiliki personel pendidikan termasuk guru bimbingan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling masih
memandang bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah diarahkan
untuk membantu memecahkan masalah para siswa. Artinya target terpenting
yang harus dicapai guru bimbingan dan konseling di sekolahnya adalah bebas dari
masalah, sehingga bagi sekolah yang kedisiplinannya sangat ketat
memandang guru bimbingan cukup satu orang, tidak perlu banyak-banyak karena tidak banyak masalah.
Orientasi berpikir bahwa bimbingan dan konseling hanya untuk memecahkan masalah siswa sangat keliru dan mengakibatkan layanan bimbingan dan konseling “salah kaprah” karena layanan bimbingan dan konseling hanya diperuntukan bagi siswa yang bermasalah, padahal salah satu prinsip layanan bimbingan dan konseling adalah untuk semua (for all).
Layanan bimbingan dan konseling untuk semua karena melalui
proses bimbingan dan konseling diharapkan para siswa mampu berkembang
menjadi individu yang sadar untuk dapat mengembangkan diri secara
optimal. Jika layanan bimbingan dan konseling dipandang sebagai upaya
untuk membantu individu dalam membangun dirinya, maka pelayanan
bimbingan dan konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakekat
para siswa sebagai manusia.
Melalui kegiatan bimbingan dan konseling guru bimbingan atau konselor perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinannya (possibilities), dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri konseli.
Mengingat
perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat, disertai dengan
pergeseran nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat serta kondisi siswa
saat ini maka guru bimbingan atau konselor pada sistem sekolah dewasa
ini dituntut lebih inovatif, kreatif, dan dinamis. Layanan-layanan yang
disedikan lebih kompleks dan bervariasi sesuai dengan sistem yang
disediakan lebih kompleks dan bervariasi sesuai dengan sistem
yang ada, tenaga, fasilitas, dan siswa dengan segala latar belakang dan
keadaannya serta tuntutan dan perubahan dunia sekitarnya.
Mengingat siswa yang dihadapi di sekolah adalah individu normal, sedangkan tujuan bimbingan
dan konseling adalah membantu siswa agar berkembang penuh dan optimal,
maka bimbingan dan konseling di sekolah dewasa ini bukan lagi ditujukan
bagi siswa tertentu saja, tetapi diarahkan kepada semua siswa,
menyeluruh, dan merata. Tolbert (1982: 4) menyatakan “The whole individual is the focus of help”.
Di samping itu oreintasi bimbingan dan konseling di sekolah bukan lagi
dipusatkan pada model psikologis semata, tetapi lebih mengacu pada model
psycho-edukatif.
Bidang
garapan bimbingan dan konseling yang dapat ditelusuri
sekurang-kurangnya ada empat aspek, yaitu: (1) pribadi; (2) sosial; (3)
belajar; dan (4) karir. Sejalan dengan fungsi dan bidang garapan di
atas, maka jenis-jenis layanan bimbingan konseling dapat disediakan
adalah: (a) layanan orientasi; (b) layanan pemberian informasi; (c)
layanan penempatan dan penyaluran; (d) layanan bimbingan kelompok; (e)
layanan bimbingan pembelajaran; (f) layanan konseling individual; dan
(g) layanan konseling kelompok (Yusuf, 1995: 98). Di samping itu
konselor sekolah juga bertanggung jawab dalam penyusunan,
penilaian, dan pengembangan program bimbingan, pengumpulan dan dan
pelaksanaan himpunan data, kunjungan rumah, konfrensi kasus, alih tangan
kasus, penelitian dan evaluasi, melakukan koordinasi tentang program
bimbingan dan konseling, melaksanakan konsultasi, dan pengembangan profesi.
Layanan
bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru bimbingan atau
konselor merupakan bentuk upaya pendidikan, karena kegiatan bimbingan
dan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan bimbingan
dan konseling di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya
pendidikan itu sendiri. Bimbingan dan konseling dalam kinerjanya juga
berkaitan dengan upaya mewujudkan pengembangan potensi siswa untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan bagi
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara, seperti yang diamanatkan pada
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Secara
fungsional, bimbingan dan konseling sangat signifikan sebagai salah satu
upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan (Wibowo, 2003: 76).
B. Peran Konselor dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator/psychoeducator),
dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang
dimilikinya untuk membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang
lebih tinggi. Peran ini merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat
memperkuat tujuan-tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor
sebagai layanan yang menunjukkan keunikan dan kebermaknaan tersendiri di
dalam masyarakat (ABKIN, 2008).
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling (Permendiknas, nomor 27 tahun 2008).
Dalam konsep bimbingan dan konseling komprehensif, konselor
akan dihadapkan kepada individu yang sedang menjalani tahap
perkembangan tertentu dengan tugas-tugas perkembangan yang harus
diselesaikannya. Karena itu, peran konselor dalam kegiatan bimbingan dan
konseling tidak hanya membantu memecahkan masalah siswanya.
Selain
itu konselor sekolah dilihat dari fungsi dan peranannya melalui
penelitian Stinzi dan Hutcheon (Aisyah, 2006: 18) menunjukkan bahwa
peranan konselor sekolah menurut harapan siswa adalah: (1) menjadi
sumber informasi karir atau lowongan dan karir kerja, (2) terbuka untuk
diskusi masalah pribadi-sosial, (3) tidak menjadi petugas disiplin (disiplinarian), namun terbuka untuk konsultasi masalah-masalah disiplin, (4) mengijinkan siswa untuk mengambil keputusan sendiri, (5) menjadi orang yang dapat dipercaya oleh siswa, (6) memberikan oreintasi kepada siswa baru, (7) mendorong terciptanya kebijakan yang terbuka.
C. Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
Dalam Permendiknas nomor 27 tahun 2008, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor, dijelaskan bahwa sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2)
menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3)
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,
dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
1. Kompetensi Pedagogik
Konselor
rehabilitasi disyaratkan memiliki kompetensi pedagogik, sebab konseling
rehabilitasi tidak bisa dilakukan dengan melepaskan diri dari ilmu-ilmu dan
praktik pedagogik. Karena itu konselor rehabilitasi harus memiliki: (1)
penguasaan teori dan praktik pendidikan, seperti penguasaan (a) ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya, (b)
implementasi prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran; serta
(c) landasan budaya dalam praktik pendidikan; (2) Konselor rehabilitasi
harus memahami kaidah-kaidah perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli disabiliti, terutama berkaitan dengan kaidah-kaidah: (a) perilaku manusia pada umumnya, (b) perkembangan fisik dan psikologis individu, (c) kepribadian, (d) individualitas dan perbedaan konseli, (e) keberbakatan, (f) kesehatan mental dan (g) pembelajaran bagi konseli disabiliti; (3) Konselor rehabilitasi harus menguasai
esensi pelayanan konseling bagi konseli disabiliti dalam jalur, jenis,
dan jenjang satuan pendidikan, baik pada satuan jalur pendidikan formal,
nonformal dan informal maupun pada satuan jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
2. Kompetensi Kepribadian
Konselor
adalah sosok yang harus mampu menampilkan diri sebagai pendidik,
pengajar, penasihat, teman diskusi, bahkan menjadi lawan berdebat manakala konselinya menunjukkan kecenderungan berpikir yang irasional, tidak kongruen
antara pikiran dan perbuatan bahkan mungkin saat konseli tidak
menunjukkan sebagai individu yang memiliki komitmen dan bertanggung
jawab.
Menteri
Pendidikan Nasional, melalui Permendiknas nomor 27 tahun 2008 merinci
kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor, yaitu sebagai
berikut: (1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di
dalamnya terkandung: (a) menampilkan kepribadian yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain, (c) berakhlak
mulia dan berbudi pekerti luhur; (2) Menghargai dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan, di dalamnya
mengandung kemampuan konselor dalam: (a) mengaplikasikan pandangan
positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral,
sosial, individual, dan berpotensi, (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya, (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya, (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya, (e) toleran terhadap permasalahan konseli, (f) bersikap demokratis; (3) Menunjukkan
integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, yaitu dengan : (a)
menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa,
jujur, sabar, ramah, dan konsisten), (b)
menampilkan emosi yang stabil, (c) peka, bersikap empati, serta
menghormati keragaman dan perubahan, (d) menampilkan toleransi tinggi
terhadap konseli yang menghadapi stres dan frustrasi; (4) menampilkan kinerja berkualitas tinggi, seperti: (a) menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif, (b) bersemangat, berdisiplin, dan mandiri, (c) berpenampilan menarik dan menyenangkan, serta (d) berkomunikasi secara efektif.
3. Kompetensi Sosial
Bagi
seorang konselor rehabilitasi, kompetensi sosial tidak hanya merupakan
dasar kemampuan untuk menjalin hubungan bantuan dengan konseli, akan
tetapi bagi semua komponen yang memiliki keterkaitan dengan pekerjaan
rehabilitasi dan kepentingan konseli serta lingkungannya. Artinya
kompetensi sosial tidak hanya dibutuhkan untuk membangun hubungan
bantuan dalam membuat rencana kehidupan konseli disabiliti tetapi
diperlukan untuk mengembangkan jejaring dalam upaya meningkatkan
efektivitas kinerjanya. Konselor yang memiliki kompetensi sosial dengan
baik akan menunjukkan kemampuan: (1) kolaborasi intern di tempat bekerja, dengan (a) memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain dalam konseling rehabilitasi; (b)
mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan konseling
rehabilitasi kepada pihak-pihak lain, baik di tempat bekerja maupun
kepada masyarakat luas; (c)
bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan konseling
rehabilitasi (seperti pendidik, orang tua, dokter, psikolog,
rokhaniawan, masyarakat, organisasi komunitas disabiliti dan organisasi
profesi lain); (2) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi
bimbingan dan konseling. Dalam aspek ini konselor dituntut untuk: (a) memahami dasar, tujuan, anggaran dasar dan anggaran rumah atangga organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi, (b) mentaati kode etik profesi bimbingan dan konseling, (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri dan profesi; (3) berkolaborasi dengan profesi lain,
yaitu dalam: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan
konseling kepada organisasi
profesi lain, (b) memahami peran organisasi profesi lain dan
memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling, (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain, dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan.
4. Kompetensi Profesional
Konseling
rehabilitasi bukan hanya pekerjaan teknis yang memerlukan penguasaan
teknik dan keterampilan konseling, tetapi sebagai salah satu frame work
bagi pengembangan pribadi individu baik konseli maupun konselor. Kuat
tidaknya landasan filosofis yang memaknai manusia, landasan psikologis
yang memberikan pemahaman terhadap keunikan manusia, landasan sosial
budaya yang memberikan pemahaman tentang kultur, nilai dan moral
individu dan kelompoknya, serta landasan religi yang memberikan
pemahaman manusia tentang akidah serta nilai keagamaan yang dianutnya
akan memberikan warna dan dampak yang sangat jelas dalam tujuan dan
hasil konselingnya.
Kompetensi profesional meliputi pemahaman dan penghayatan mendalam seorang konselor rehabilitasi mengenai filsafat
profesi atau kepakaran di bidang konseling rehabilitasi yang berkenaan
dengan aspek religi, sosial budaya maupun aspek-aspek psikologisnya.
Kompetensi ini hendaknya merupakan seperangkat perilaku nyata yang
ditunjukkan oleh seorang konselor profesional dalam melaksanakan tugas
atau pekerjaan profesional atau keahliannya. Sebab tinggi dan rendahnya
kualitas profesional seorang konselor akan berdampak langsung terhadap
tinggi dan rendahnya pengakuan masyarakat luas dan imbalan yang akan
diterimanya. Dengan kata lain, seorang konselor profesional akan selalu menjaga kualitas kinerja dan nama baik pribadi dan profesinya (Suherman AS, 2006).
Kompetensi profesional seorang konselor, secara rinci dikemukakan dalam Permendiknas nomor 27 tahun 2008, sebagai berikut: (1)
Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan,
dan masalah konseli, seperti: (a) menguasai hakikat asesmen, (b)
memilih teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan
konseling, (c) menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk
keperluan bimbingan dan konseling, (d) mengadministrasikan asesmen untuk
mengungkapkan masalah-masalah konseli, (e) memilih dan
mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan
kecenderungan pribadi konseli, (f) memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan, (g)
mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan
dan konseling, (h) menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan
dan konseling dengan tepat, (i) menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen; (2) Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling, seperti: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling, (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling, (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling, (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja, (e) mengaplikasikan pendekatan/model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, (f) mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling; (3) Merancang program Bimbingan dan Konseling, seperti: (a) menganalisis kebutuhan
konseli, (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang
berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif
dengan pendekatan perkembangan, (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling, (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling; (4) Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling komprehensif, seperti: (a) melaksanakan program bimbingan dan konseling, pendekatan kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling, (b) memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli, (c) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling; (5) Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling, seperti: (a) melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling, (b) melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling, (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait, (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling; (6) Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional, seperti: (a) memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional, (b) menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor, (c) mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli, (d) melaksanakan referal sesuai dengan keperluan, (e) peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi, (f) mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor, (g) menjaga kerahasiaan konseli; (7) Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling, seperti: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian, (b) mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling, (c) melaksaanakan penelitian bimbingan dan konseling, (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
D. Kualitas Pribadi Konselor
Di antara kompetensi konselor, yang paling penting adalah kualitas pribadi konselor karena
konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara
utuh, tepat, dan berarti serta membangun hubungan antarpribadi (interpersonal) yang
unik dan harmonis, dinamis, persuasif dan kreatif sehingga menjadi
motor penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Dalam hal ini, Corey
(1986: 358-361), menyatakan “alat” yang paling penting untuk dipakai
dalam pekerjaan seorang konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (our self as a person).
Pada bagian dari tulisannya itu, ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa
“... para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu saat,
karena pengenalan terhadap diri sendiri bisa meinaikkan tingkat kesadaran (self awarness)” konselor.
Brammer
(1979: 4) mendeskripsikan kualifikasi konselor sekolah sebagai pribadi
memiliki sifat-sifat dan sumber kepribadian seperti memiliki perhatian
pada orang lain, bertanggung jawab, empati, sensitivitas dan
sebagainnya. Menurut Furqon (2001) ditemukan bahwa konselor sekurang-kurangnya perlu memiliki tiga kompetensi, di samping perlu dukungan kondisi yang kontekstual dan lingkungan, yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti (core competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies).
Kompetensi pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan baik antarpribadi (rapport)
secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan
moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri,
serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah.
Pribadi
konselor merupakan ‘instrumen’ yang menentukan bagi adanya hasil yang
positif dalam proses konseling. Kondisi ini akan didukung oleh
keterampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan
konselinya. Pemaduan secara harmonis dua instrumen ini (pribadi dan
keterampilan) akan memperbesar peluang keberhasilan konselor.
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik dan terciptanya layanan bimbingan dan konseling secara efektif, sebagaimana adanya tuntutan profesi, konselor harus memiliki kualitas pribadi. Keberhasilan
konseling lebih tergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan
kecermatan teknik. Mengenai ini, Tyler (1969) menyatakan: “…success in counseling depend more upon personal qualities than upon correct use of specified techniques”.
Pribadi konselor yang amat penting mendukung efektivitas perannya
adalah pribadi yang altuistis (rela berkorban) untuk kepentingan
konseli.
Brammer juga mengakui adanya kesepakatan helper tentang pentingnya pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses konseling, ia mengatakan: “A
general dictum among people helpers says that if I want to become more
affective I must begun with my self; own personalities thus the
principal tools of the helping process…” ( Brammer, 1979: 25).
Pribadi berdasarkan sifat hubungan helping menurut Brammer di antaranya: (1) awareness of self and values, (2) awareness of cultural experience, (3) ability to analyze the helper’s own feeling, (4) ability so serve as model and influencer, (5) altruism, (6) strong sense of ethics, (7) responsibility.
Pendapat Brammer tentang karakteristik konselor di atas dapat di deskripsikan sebagai berikut.
1. Awareness of self and values, (kesadaran
akan diri dan nilai). Konselor memerlukan kesadaran tentang posisi
nilai mereka sendiri. Konselor harus mampu menjawab dengan jelas
pertanyaan-pertanyaan, siapakah saya? Apakah yang penting bagi saya?
Apakah signifikansi sosial dari apa yang dilakukan? Mengapa saya mau
menjadi konselor?, kesadaran ini membantu konselor membentuk kejujuran
terhadap dirinya sendiri dan terhadap konseli mereka dan juga membentuk
konselor menghindari memperalat secara bertanggung jawab atau tidak etis
terhadap konseli bagi kepentingan pemuasan kebutuhan diri pribadi konselor.
2. Awareness of cultural experience (kesadaran
akan pengalaman budaya). Suatu program latihan kesadaran diri yang
tearah bagi konselor mencakup pengetahuan tentang populasi khusus
konseli. Misal, jika seseorang telah menjalin hubungan dengan konseli
dalam masyarakat suku lain dengan latar belakang yang sangat berbeda,
konselor dituntut mengetahui lebih banyak lagi tentang perbedaan
konselor dan konseli karena hal tersebut merupakan hal yang sangat
penting bagi hubungan helping yang efektif. Konselor professional hendaknya mempelajari cirri-ciri khas budaya dan kebiasaan tiap kelompok konseli mereka.
3. Ability to analyze the helper’s own feeling (kemampuan
untuk menganalisis kemampuan konselor sendiri). Observasi terhadap
konselor spesialis menunjukkan bahwa mereka perlu “berkepala dingin”,
terlepas dari perasaan-perasaan pribadi mereka sendiri. Selain adanya
persyaratan bagi konselor efektif, konselor juga harus mempunyai
kesadaran dan mengontrol perasaannya sendiri guna menghindari proyeksi
kebutuhan, harus pula diakui bahwa konselor mempunyai perasaan dari
waktu ke waktu.
4. Ability so serve as model and influencer (kemampuan
melayani sebagai teladan dan pemimpin atau “orang yang berpengaruh”).
Kemampuan ini penting terutama dengan kredibilitas konselor di mata
konselinya. Konselor sebagai teladan atau model dalam kehidupan
sehari-hari adalah sangat perlu. Konselor harus tampak beradab, matang
dan efektif dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan konselor sebagai
“pemimpin” atau sebagai teladan sangat diperlukan dalam proses
konseling.
5. Altruism (altuisme). Pribadi
altuis ditandai kesediaan untuk berkorban (waktu, tenaga, dan mungkin
materi) untuk kepentingan, kebahagiaan atau kesenangan orang lain
(konseli). Konselor merasakan kepuasan tersendiri manakala dapat
berperan membantu orang lain dari pada diri sendiri.
6. Strong sense of ethics (penghayatan
etik yang kuat). Rasa etik konselor menunjukkan rasa aman konseli
dengan ekspektasi masyarakat. Konselor profesional memiliki kode etik
untuk dihayati dan dipakai dalam menumbuhkan kepercayaan pengguna jasa
layanan konseling.
7. Responsibility (tanggung
jawab). Tanggung jawab konselor dalam hal ini khusus berkenaan dengan
konteks bantuan khusus yang diberikan kepada konselinya. Salah satu
tempat penerapan tanggung jawab konselor adalah dalam menangani kasus di
luar bidang kemampuan atau kompetensi mereka. Konselor menyadari
keterbatasan mereka, sehingga tidak merencanakan hasil atau tujuan yang
tidak realistis. Konselor mengupayakan referal kepada spesialis ketika
mereka menyadari keterbatasan diri. Begitu juga dalam menangani suatu
kasus, mereka tidak membiarkan kasus-kasus “terlunta-lunta” tanpa
penyelesaian.
Kemudian
Hobbs menyatakan bahwa: “idealnya sebagai seorang konselor adalah
memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilakunya dalam mewujudkan
kemampuan dalam hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari
dunia lingkungannya, mau menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat
berdaya cipta secara luas dan tidak terbatas dalam pandangan
profesionalnya”, Hanset, et.al. (Benyamin, 1995: 27).
Allport (Blocher, 1974: 93-94) menggambarkan hakikat pribadi yang matang secara psikologis adalah sebagai berikut.
1. Memiliki
kesadaran yang cukup luas tentang diri sendiri dan orang lain.
Maksudnya adalah memilki kasih sayang, mempunyai kecenderungan seks yang
sehat, sadar akan kekuatan sendiri, namun juga mempunyai kesadaran
untuk tunduk dan menghargai orang lain.
2. Hangat
dalam hubungan dengan individu lain. Individu yang matang dapat
menciptakan dan memelihara keintiman dan kecintaan terhadap orang lain.
Hubungan antar pribadinya ditandai oleh empati dan keharuan.
3. Emosi
stabil. Kematangan emosional timbul dari penerimaan dirinya, dengan
kematangan emosional seseorang dapat memelihara pandangan yang realistik
dan melakukan pengawasan terhadap tata alur “sinyal-sinyal” perasaan.
4. Realistik
dalam persepsi, keterampilan, dan pekerjaan. Tiap individu yang matang
dapat berfungsi secara efisien dalam wilayah persepsi dan kognisi, dalam
arti memiliki perilaku intelektual yang realistik dan akurat. Di
samping itu dapat memfokuskan energinya pada pekerjaan yang cocok dengan
perkembangannya.
5. Realistik terhadap diri dan wawasan. Individu yang matang dapat mengerti dirinya.
6. Mempunyai
kesatuan pendekatan mengenai kehidupan. Tiap individu yang matang mampu
menyusun beberapa kesatuan pendekatan menghadapi kehidupan, sehingga
memeberikan konsistensi dan arti bagi tingkah lakunya.
Konselor sebagai pribadi harus mampu menampilkan jati dirinya secara utuh, tepat, dan berarti serta mampu membangun hubungan antarpribadi (interpersonal) yang unik
dan harmonis, dinamis, persuasif, dan kreatif, sehingga menjadi motor
penggerak keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Corey (1986: 358-361) menyatakan
bahwa “alat” yang paling penting untuk dipakai dalam pekerjaan seorang
konselor adalah dirinya sendiri sebagai pribadi (your self as a person). Bahkan
pada bagian lain dari tulisannya itu ia tidak ragu-ragu mengatakan
bahwa:” …para konselor hendaknya mengalami sebagai konseli pada suatu
saat, karena pengenalan terhadap diri sendiri dapat menaikkan tingkat
kesadaran diri (self awareness)”.
Apabila
konselor hanya menjadi reflektor perasaan, pengamat netral yang membuat
penafsiran atau sebagai pribadi yang bersembunyi dibalik keamanan dari
peran yang dimainkannya, konselor
tidak mungkin mengharapkan konseli untuk berkembang ke arah yang lebih
baik. Konselor harus membuka “topengnya” dan menampilkan jati dirinya
dengan segala keotentikannya. Konselor bertindak dan sekaligus sebagai model bagi konselinya. Konselor menampilkan
dirinya apa adanya, terbuka dan terlibat dalam penyingkapan diri yang
layak dan fasilitatif sehingga dapat mendorong konseli menyatukan
sifat-sifat yang sama ke dalam dirinya.
Menurut
Willis (2004), yang dimaksud kualitas konselor adalah semua kriteria
keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan
nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam proses
konseling sehingga mencapai tujuan dengan efektif. Salah satu kualitas
konselor yang dimaksud di atas adalah kualitas pribadi konselor.
Adapun
yang dimaksud kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut
segala aspek kepibadian yang amat penting dan menentukan keefektifan
konselor jika disbandingkan dengan pendidikan dan latihan yang
diperolehnya (Willis, 2004: 79).
Hasil-hasil
penelitian yang dilakukan oleh Truax & Carkhuff, Waren, Virginia
Satir (Willis 2004: 79) membuktikan bahwa keefektifan konselor banyak
ditentukan oleh kualitas pribadinya. Bahkan Rogers mengatakan bahwa
kepribadian konselor lebih dari pada teknik konseling itu sendiri. Lebih
lanjut diungkapkan bahwa hasil penelitian masing-masing sebagai
berikut.
Virginia
Satir (Willis, 2004: 79) mengemukakan beberapa karakteristik konselor
sehubungan dengan pribadinya yang membuat konseling berjalan efektif.
Karakteristik-karakteristik tersebut adalah: (1) resource person, artinya
konselor adalah orang yang banyak mempunyai informasi dan senang
memberikan dan menjelaskan informasinya. Konselor bukanlah pribadi yang
maha kuasa yang tidak mau berbagi dengan orang lain; (2) model of communication, yaitu
bagus dalam berkomunikasi, mampu menjadi pendengar yang baik dan
komunikator yang terampil. Konselor bukan orang yang “sok pintar” dan
mengejar pamor sendiri. Konselor mampu menghargai orang lain dan dapat
bertindak sesuai dengan realitas yang ada baik pada diri maupun di
lingkungannya.
Jay
Haley (Willis, 2004: 80) mengemukakan kualitas pribadi konselor sesuai
dengan penelitiannya yaitu: (1) fleksibilitas, yaitu mampu mengubah
pandangan secara realistik dan bukan mengubah kenyataan; (2) tidak
memaksakan pendapat, mau mendengarkan dengan sabar terhadap orang lain.
Munson
& Mills (Willis, 2004: 80) mengemukakan dua karakteristik penting
yang menentukan kualitas pribadi konselor yaitu: (1) seorang yang
memiliki kebutuhan untuk menjadi pemelihara (to be nurturant); (2) harus memiliki intuisi dan penetrasi psikologis yang baik (intuitive and psychological parenting),
artinya dalam menghadapi konseli konselor mampu dengan cepat menangkap
makna yang tersirat dari perilaku konseli yang tampak dan terselubung,
misalnya makna suatu gerakan kepala, getaran suara, getaran bahu, cara
duduk, dan sebagainya, dapat ditangkap makna maknanya dengan cepat oleh
konselor segingga mampu memberikan keterampilan teknik yang antisipatif
dan bermakna dalam membantu perkembangan konseli. Dengan kata lain,
konselor memahami bahasa verbal maupun non verbal konseli.
Menne
(Willis, 2004: 80) mengungkapkan karakteristik konselor yang didapat
dari hasil penelitiannya yang menunjang kualitas pribadi konselor yaitu: (1)
memahami dan melaksanakan etika professional; (2) mempunyai rasa
kesadaran diri mengenai kompetensi, nilai-nilai dan sikap; (3) memiliki
karakteristik diri yakni respect terhadap orang lain, kematangan
pribadi, memiliki kemampuan intuitif, fleksibel dalam pandangan dan
emosional stabil; (4) kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan orang
lain, dan kemampuan berkomunikasi.
Shertzer & Stone (Murad: 2005) menyatakan: "A key element in any counseling relationship is the person of the counselor".
Menurut Brammer (1979) menguraikan karekteristik-karekteristik pribadi
tertentu yang seyogianya dimiliki oleh konselor sebagai berikut: sebagai
helper, konselor perlu memiliki karekteristik pribadi berikut:
(1) sadar akan diri dan nilai-nilai, (2) sadar akan
pengalaman-pengalaman kultural, (3) mampu menganalisis pengalaman diri
sendiri, (4) mampu berperan sebagai model dan pemberi pengaruh, (5)
peduli terhadap kepentingan orang lain (altuisme), (6) memiliki rasa
etik yang kuat dan (7) bertanggung jawab. Sebagai seorang peneliti,
konselor seharusnya dapat berfikir dan berbuat seperti ahli
behavioristik serta memiliki komitmen yang kuat terhadap upaya belajar
sepanjang hayat. Sebagai fasilitator pertumbuhan, konselor hendaknya
memiliki kualitas pribadi sebagai berikut: (1) empati, (2) hangat dan
peduli, (3) terbuka, (3) menghargai orang lain secara positif, (4)
konkret dan spesifik dalam berbicara, (5) terampil berkomunikasi, dan
(6) memiliki daya intensionalitas yang tinggi (kemampuan memilih respon
yang tepat dalam berinteraksi dengan konseli).
Paparan mengenai kualitas dan karakteristik
pribadi konselor yang sangat ideal di atas, tidak dapat dipenuhi oleh
seorang konselor secara utuh keseluruhan. Namun, konselor tetap harus
berupaya memenuhinya sebanyak mungkin dengan tetap memiliki ciri pribadi
sendiri yang khas (unik).
Seorang
konselor tidak dilahirkan dan juga bukan karena pendidikan dan latihan
profesionalnya semata-mata. Menjadi konselor berkembang melalui proses
yang panjang dimulai dengan mempelajari berbagai teori dan latihan serta
berusaha belajar dari pengalaman praktik konselingnya (Nelson &
Jones, 1997: 9). Dalam proses tersebut peran keinginan atau cita-cita
tidak dapat diabaikan, sebab penentuan pilihan bidang ilmu yang akan digeluti didasari oleh tujuan atau alasan pemilihan tersebut.
Menjadi
konselor yang baik, yaitu konselor yang efektif, perlu mengenal diri
sendiri, mengenal konseli, memahami maksud dan tujuan konseling, serta
menguasai proses konseling. Membangun hubungan konseling (counseling relationship)
sangat penting dan menentukan dalam melakukan konseling. Seorang
konselor tidak dapat membangun hubungan konseling jika tidak mengenal
diri maupun konseli, tidak memahami maksud dan tujuan konseling serta
tidak menguasai proses konseling.
Menurut
Combs (Pudjiastuti, 2003: 8) ada perbedaan yang jelas antara ciri-ciri
konselor efektif yang diyakini konselor tentang empati, diri, naluri
manusia, dan tujuan konselor itu sendiri. Kajian-kajian yang menyiratkan
adanya keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kesuksesan untuk
menjadi konselor yang efektif, terutama dalam kesediaan konselor dalam
menggunakan kepribadiannya dalam melakukan konseling. Perlu disadari
bahwa perkembangan diri konselor sebagai pribadi berkaitan erat dengan
keefektifan dalam membantu konseli yang dapat dimaknai bahwa pribadi dan
profesional merupakan satu kesatuan yang erat.
Kepercayaan (beliefe), nilai (value),
dan karakteristik pribadi konselor akan mempengaruhi terhadap
pengembangan konseli di masa depan. Kepercayaan ini adalah perasaan
tentang sesuatu yang dianggap nyata dan benar. Sebagian besar yang
menjadi dasar dan pusat kepercayaan konselor adalah bahwa konselor
memiliki nilai-nilai tinggi serta mempunyai karakter.
Karakter
sering dihubungkan dengan integritas, yang dalam pengertian sehari-hari
merupakan: "satunya kata dengan perbuatan" atau tidak munafik. Karakter
adalah kualitas manusia yang berkaitan dengan etika moral, kejujuran,
dan keberanian (untuk mengatakan "tidak" terhadap hal yang dapat merusak
intergritas pribadi. Karakter ini merupakan kualitas manusia yang dapat
dikembangkan sepanjang hidupnya (Pudjiastuti, 2003: 13).
Konselor
efektif, perlu memiliki pandangan atau pikiran yang jelas tentang
maksud dan tujuan-tujaun konseling. Beberapa tujuan konseling adalah
membantu konseli lebih baik, membantu konseli menjadi percaya diri (self reliant)
dan memperoleh keterampilan-keterampilan untuk menghadapi situasi pada
saat ini dan di kemudian hari dalam cara-cara yang konstruktif.
Agar
harapan dan kebutuhan konseli dapat terpenuhi oleh konselor, maka
pedekatan yang dapat dilakukan adalah pembahasan tujuan konseling secara
terbuka. Atas dasar hasil pembahasan tersebut dilakukan penyusunan
program konseling yang disepakati bersama oleh konselor dan konseli
(Nelson & Jones, 1997).
Aspek
kunci lainnya dalam konseling yang efektif adalah hubungan konseling,
yaitu kualitas hubungan antara konselor dengan konseli. Konsep Carl
Rogers tentang hubungan konseling merupakan konsep yang kuat dan
berguna, dan perlu dipahami oleh calon konselor. Jika pola konseling
Rogerian telah dikembangkan, keterampilan lainnya dapat ditambahkan dan
disatupadukan dalam khasanah konseling masing-masing konselor.
Roger menyebutkan tiga kualitas utama yang diperlukan seorang konselor agar konselingnya efektif, yaitu kongruensi, empati, dan perhatian positif tanapa syarat pada konseli. Konselor
yang memiliki kualitas kongruen, yaitu seorang konselor yang dalam
perilaku hidupnya menunjukkan sebagai dirinya sendiri yang asli, utuh,
dan menyeluruh, baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan
profesionalnya. Konselor tidak pura-pura atau memakai kedok untuk
menyembunyikan keaslian dirinya.
Konselor
yang memiliki kualitas empati, dapat merasakan pikiran dan perasaan
orang lain dan ada rasa kebersamaan dengan konseli. Konselor memahami
jalur jalan dan liku-liku yang dilalui konseli dan bersimpati padanya, berjalan bersama dengannya sebagai teman sejalan. Dengan demikian, jika digambarkan, konselor
tidak selalu memimpin dan tidak pula selalu mengikuti keinginan
konseli. Tiap saat konselor dapat memimpin dan setiap saat ia dapat
menjadi pengikut, tergantung pada perkembangan konseling yang
diharapkan. Dengan demikian, dapat terbentuk kepercayaan konseli kepada
konselor, sehingga tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan semua perasaan,
harapan dan masalah yang dihadapinya.
Kualitas
ketiga, konselor yang baik atau efektif adalah memberikan perhatian
kepada konseli. Konselor memberikan perhatian positif tanpa syarat.
Konselor dapat menerima konseli sebagaimana adanya dengan segala
kelemahan dan kekuatannya, sikap dan keyakinannya, termasuk perilakunya
yang mungkin memuakkan bagi orang lain. Hal ini tidak mudah untuk
dicapai. Oleh karena itu diperlukan pengalaman dan kesabaran, serta
pengenalan diri sendiri terlebih dahulu.
Konselor
yang efektif memiliki kualitas pribadi yang spesifik dan mampu
memodelkan kualitas tersebut kepada orang yang dibantu. Sebagaimana
dikemukakan oleh Okun (Capuzzi & Gross, 1991: 46), terdapat sejumlah
bukti yang mendukung konsep bahwa helpers are only as effective as they are self aware and able to use themselves as vehicles of change. Comb
(1986) merangkum 13 studi yang menunjukan para konselor dalam berbagai
setting. Studi-studi tersebut mendukung pandangan bahwa terdapat
perbedaan-perbedaan keyakinan para konselor efektif maupun kurang
efektif yang berpusat pada diri.
Pietrofesa et al. (1978: 38) menyatakan bahwa konselor yang efektif akan memandang konseli sebagai individu yang.
1. Memiliki kemampuan.
Koselor memandang bahwa konseli memiliki kemampuan untuk mengatasi
masalah yang sedang dihadapinya. Konselor memiliki keyakinan bahwa
konseli mampu mencari jalan keluar terbaik untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
2. Dapat diandalkan.
Konselor menghargai konseli sebagsi individu yang bisa diandalkan.
Konselor memandang konseli sebagai individu yang memiliki kepercayaan
diri baik dalam hal kestabilan emosi maupun maupun individu yang bisa
dipercaya sehingga konselor tidak perlu menaruh curiga kepada konseli.
3. Ramah.
Konselor memandang konseli sebagai individu yang ramah. Konselor tidak
memandang konseli sebagai sesuatu yang mengancam tapi konselor memandang
konseli sebagia seorang yang ramah dan harus diperlakukan secara baik.
4. Berharga.
Konselor memandang konseli sebagai individu yang berharga. Konselor
memandang konseli sebagai individu yang memiliki harga diri dan
integritas (kejujuran) yang harus dihormati
5. Berguna. Konselor memandang konseli sebagai individu yang berguna dan memiliki potensi.
6. Memiliki motivasi.
Konselor memandang konseli sebagai individu yang memiliki dorongan dari
dalam dirinya. Konselor tidak memandang konseli sebagai individu yang
memiliki dorongan dari luar yang selalu dipengaruhi oleh lingkungan.
Konseli dipandang sebagai individu yang kreatif dan dinamis.
Sedangkan dalam memandang dirinya sendiri, konselor efektif akan memandang dirinya sebagai individu yang.
1. Dikenal oleh orang lain daripada menjauhkan diri dari orang lain.
Konselor memandang dirinya sebagai bagian dari orang lain. Konselor
mampu berinteraksi dengan orang lain. Konselor tidak menarik diri atau
mengasingkan diri dari orang lain
2. Memiliki kemampuan.
Konselor memandang dirinya memiliki kemampuan baik untuk memecahkan
masalahnya sendiri maupun membantu memecahkan masalah orang lain.
Konselor tidak memandang dirinya sebagai individu yang tidak memiliki
kemampuan dalam mengatasi suatu masalah.
3. Berharga. Konselor memandang dirinya sebagai individu yang memiliki harga diri, integritas dan kehormatan.
4. Dapat dipercaya. Konselor memandang dirinya sebagai individu yang bisa diandalkan dan memiliki potensi dalam menghadapi suatu masalah (Pietrofesa, et al. 1978: 38)
Rogers
(Boy & Pine, 1968: 67) menyatakan bahwa ada beberapa kompetensi
konselor yang dapat memberikan perubahan langsung terhadap konseli pada
saat melakukan proses konseling diantaranya yaitu: (1) Ketulusan, (2) Penerimaan. menghargai konseli sebagai individu yang berharga, (3) Empati yaitu
suatu kemampuan untuk menempatkan diri, jiwa, dan perasaan dari
konselor ke dalam jiwa, dan perasaan konseli. Beberapa perubahan ini
diantaranya konseli akan menjadi: (1) lebih realistis dalam memandang
dirinya sendiri, (2) lebih percaya diri dan memiliki kemampuan dalam
mengarahkan diri, (3) lebih positif dalam menilai diri sendiri, (4)
lebih dewasa, (5) mampu mengatasi stress yang dihadapinya, (6) lebih
memiliki struktur kepribadian yang sehat.
Paterson
(Capuzzi & Gross, 1991: 46) untuk menjelaskan suatu konstelasi
karakteristik-karakteristik yang dimiliki konselor efektif, seperti
sadar diri, penerimaan diri, menyadari lingkungan dan berinteraksi degan
lingkungan secara realistik. Dalam hidup, mereka bersikap terbuka
terhadap berbagai pengalaman dan perasaan, spontanitas, dan memiliki
rasa humor. Ketika berinteraksi dengan orang lain, mereka mampu terlibat
setidak-tidaknya tetap dalam konteks. Bersikap empatik, terharu dan
percaya pada dunia konseli, percaya kepada orang lain, otentik, dan
orang-orang yang etik. Charkuff & Barenson (1967) dua keterampilan
atau sifat-sifat konselor yang harus dimiliki diantaranya adalah hormat
dan konkret.
Sementara
Surya (2003: 45-46) mengemukakan bahwa dimensi kompetensi-kompetensi
intrapribadi merupakan kekuatan yang diperlukan dalam menghadapi
tuntutan yang berasal dari dalam diri konselor sendiri. Makin besar daya
dalam menghadapi dirinya sendiri, makin efektif perilaku individu dalam
interaksi dengan lingkungannya, sehingga mencapai kebermaknaan dan
kebahagiaan hidupnya. Sebaliknya semakin kecil daya yang dimiliki dalam
menghadapi dirinya sendiri, maka semakin besar kemungkinan timbulnya
konflik dan frustasi sehingga dapat mengganggu proses kehidupannya.
Cavanagh, 1982 (Yusuf, 2009: 37) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
A. Pemahaman Diri
Self awareness
berarti bahwa konselor memehami dirinya dengan baik, memahami secara
pasti apa yang akan dilakukan, mengapa dilakukan, dan masalah apa yang
harus diselesaikan. Pentingnya pemahaman diri bagi konselor diantaranya
sebagai berikut.
1. Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung akan memiliki persepsi yang akurat tentang orang lain
2. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil memahami orang lain
3. Konselor yang memahami dirinya akan mampu mengajarkan cara memahami diri kepada orang lain
4. Pemahaman
tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi
secara jujur dengan konseli pada saat proses konseling berlangsung.
B. Kompeten (Competence)
Kompeten
diartikan bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual,
emosional, social, dan moral sebagai pribadi yang berguna.
C. Kesehatan Psikologis
Konselor yang memiliki kesehatan psikologis yang baik memiliki kualitas sebagai berikut.
1. Memperoleh pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan dan seks
2. Dapat menghadapi masalah-masalah pribadi yang dimilki
3. Menyadari kelemahan, atau keterbatasan kemampuan diri
4. Menciptakan kehidupan yang lebih baik. Konselor dapat menikmati kehidupan secara nyaman.
D. Dapat Dipercaya
Kualitas pribadi konselor yang dapat dipercaya sangat penting karena alasan sebagai berikut.
a. Esensi tujuan konseling adalah mendorong konseli untuk mengmukakan masalah dirinya yang paling dalam
b. Konseli dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor.
c. Konseli yang mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkrmbang dalam dirinya sikap percaya diri.
Konselor yang dapat dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
a) Memiliki pribadi yang konsisten
b) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapan maupun perbuatan
c) Tidak pernah membuat orang lain kecewa atau kesal
d) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak inkar janji, dan mau membantu secara penuh.
E. Jujur
Jujur yang dimaksud adalah konselor bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine).
F. Kekuatan (Strength)
Kekuatan
atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan
hal itu konseli akan merasa aman. Konseli memandang konselor sebagai
orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat mendorong
konseli untuk mengatasi masalah, (c) dapat menanggulangi kebutuhan dan
masalah pribadi.
Konselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut.
a. Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling
b. Besifat fleksibel
c. Memiliki identitas diri yang jelas.
G. Bersikap Hangat
Bersikap
hangat adalah konselor besikap penuh perhatian, dan memberikan kasih
sayang. Dengan rasa hangat tersebut mendorong konseli untuk mendapat
kehangatan dan melakukan “sharing” (bercerita) dengan konselor.
H. Actives Responsiveness
Respon aktif yang dimaksud adalah konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan konseli.
I. Sabar
Sikap
sabar konselor dalam konseling dapat membantu konseli untuk
mengembangkan diri secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih
memperhatikan diri konseli dari pada hasilnya.
J. Kepekaan
Konselor
menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau
sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri konseli maupun dirinya
sendiri. Kepekaan ini penting karena konseli yang datang untuk meminta
bantuan kepada konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang
sebenarnya dihadapi. Bahka ada yang tidak menyadari bahwa dirinya
bermasalah.
Konselor yang memiliki kepekaan memiliki kualitas perilaku sebagai berikut.
a. Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri
b. Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah konseli
c. Mengajukan pertanyaan tentang persepsi konseli tentang masalah yang dihadapinya
d. Sensitif terhadap sifat-sifat yang mudah membuat tersinggung.
K. Kesadaran Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistic dalam konseling berarti bahwa konselor memahami konseli secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar